Sabtu, 02 April 2011

BERBAGI CARITA KA SADEREK SADAYA ka para Alumni syamsul ulum sukabumi

RAUDAT AL-‘IRFAN FI MA’RIFAT AL-QURAN
KARYA AHMAD SANUSI: SEBUAH SASTRA KITAB
A. Biogerafi Ahmad Sanusi
KH.Ahmad Sanusi, orang sunda memanggilnya dengan sebutan Ajengan Sanusi, Ajengan Cantayan, atau Ajengan Genteng adalah seorang ulama berpengaruh abad 20 di tanah parahiayangan. Ia dilahirkan pada 18 September 1989M/3 Muharram 1306, di Cantayan sebuah desa di Cibadak, Sukabumi sekitar 20 km arah Barat kota Sukabumi. Akibat timbulnya pertentangan dengan pemerintah Belanda, Haji Yasin Sebagai keturunan Suria Dadaha Dalem Sawidak Sukapura Tasikmalaya –ayah Haji Abdurrahim dan kakeknya Ahmad Sanusi —pindah ke Sukabumi dan mendirikan pesantren sambil menjadi amil di desa cantayan Sukabumi.
Uci –panggilan untuk KH. Ahmad Sanusi —sebagai representasi dari keturunan kiai yang melanjutkan estafet dakwahnya. Dalam pribahasa sunda kita mengenalnya dengan ungkapan "anak merak kukuncungan uyah tara tees ka luhur'. Uci pu meniti tangga keilmuan di tanah suci selama hampir sebelas tahun. Kemudian terlibat langsung dalam gerakan Islam sampai menjabat terakhir sebagai Shu Sangi Kai dan Wakil Residen semasa pendudukan Jepang di tanah air.
Pada tanggal 5 februari tahun 1933, beliau juga medirikan pesantren yang terkenal dengan sebutan pesantren Gunung Puyuh yang sekarang menjadi pesantren Syamsul ’Ulum yang terletak di Kecamatan Gunung Puyuh Sukabumi.
Beliau lebih banyak terlibat dalam dunia pendidikan dan menulis buku sebanyak 125 buah yang meliputi berbagai bidang agama, yang ditulis baik dalam bahasa sunda maupun bahasa Indonesia. Sosok ulama sunda ini dipenuhi aktifitas sosial keagamaan plus mewariskan karya yang sangat berharga dan bisa dibanggakan oleh urang sunda.
Salah satu karya KH. Ahmad Sanusi yang banyak dikenal di masyarakat Sunda adalah kitab Raudhah al-‘Irfan fi ma’rifah al-Qur’an yang bisa dikatakan sebagai kitab tafsir sunda. Beliau adalah salah satu dari tiga ulama Sunda (Jawa Barat) yang produktif menelorkan kitab-kitab asli Sunda yang berisi tentang ajaran agama Islam. Dua yang lainnya, adalah Rd. Ma’mun Nawawi bin Rd. Anwar yang menulis berbagai risalah singkat. Begitu juga ulama sekaligusi penyair terkenal, ‘Abdullah bin Nuh dari Bogor yang menulis karya-karya penting tentang ajaran-ajaran sufi, yang didasarkan atas pandangan al-Ghazâli.
Martin Van Bruinessen, peneliti senior asal Belanda, menyebut ketiganya sebagai penulis karya orisinil dan bukan pen-syarah (penyempurna) atas kitab-kitab tertentu, sebagaimana umumnya dilakukan oleh ulama-ulama Indonesia pada abad XIX. Kitab Raudhatu al-‘Irfan fi Ma’rifati al-Qur’an bisa dikatakan sebagai starting point di tengah tradisi tulis-baca di dunia pesantren yang belum cekatan dalam menelorkan karya tafsir yang utuh.
B. Gambaran Umum Kitab Raudhat al-Irfan fi Ma’rifati al-Qur’an
Kitab ini terdiri dari dua jilid, jilid pertama berisi juz 1-15 dan jilid kedua berisi juz 16-30. Dengan mempergunakan tulisan Arab dan bacaan Sunda, ditambah keterangan di samping kiri dan kanan setiap lembarnya sebagai penjelasan tiap-tiap ayat yang telah diterjemahkan. Model penyuguhan tersebut, bukan saja membedakannya dari tafsir yang biasa digunakan di pesantren dan atau masyarakat Sunda umumnya, melainkan berpengaruh banyak pada daya serap para peserta pengajian. Tulisan ayat yang langsung dilengkapi terjemahan di bawahnya dengan tulisan miring akan membuat pembaca langsung bisa mengingat arti tiap ayat. Kemudian, bisa melihat kesimpulan yang tertera pada sebelah kiri dan kanan setiap lembarnya.
Keterangan yang ada di bagian kiri-kanan di setiap lembarnya, berisi kesimpulan dari ayat yang tertulis di sebelahnya dan penjelasan tentang waktu turunnya ayat (asbab an-nuzul), jumlah ayat, serta huruf-hurufnya. Kemudian, disisipi dengan masalah tauhid yang cenderung beraliran ‘Asy’ari dan masalah fikih yang mengikuti madzhab Syafi’i. Kedua madzhab dalam Islam itu memang dianut oleh kebanyakan masyarakat muslim di wilayah Jawa Barat. Dari sini terlihat bagaimana KH. Ahmad Sanusi mempunyai strategi tersendiri dalam menyuguhkan ayat-ayat teologi dan hukum yang erat kaitannya dengan paham masyarakat pada umumnya.

Pengertian perkata yang ada dalam tafsir ini nampaknya diilhami oleh Tafsir Jalalain Karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli yang banyak dipergunakan di lingkungan pesantren Jawa. Ini terlihat dari awal penafsiran surat al-Fâtihah sampai surat-surat yang sesudahnya. Model Tafsir Mufradat (tafsiran kata per kata) yang melekat pada tafsir al-Jalâlain telah berpengaruh banyak atas diri KH Ahmad Sanusi ketika meracik tafsirannya untuk setiap kata dalam surat-surat al-Quran. Mungkin ini yang bisa dilakukan ketika tafsir yang dibuat sengaja diarahkan untuk dikonsumi oleh kebanyakan masyarakat muslim sunda yang belum terbentuk kesadarannya secara sempurna akan teks kitab suci. Pada kenyataanya, pengguna tafsir ini memang terpikat karena gaya penafsiran perkata itu.
C. Kitab Raudat al-Irfan Karya Ahmad Sanusi Sebuah Sastra Kitab
Secara umum sastra dibagi menjadi dua bagian besar: sastra deskriptif atau non imajinatif dan sastra kreatif atau imajinatif. Sastra kitab termasuk bagian dari sastra non imajinatif atau deskriptif, di dalamnya banyak berbicara tentang keilmuan yang bersifat keagamaan seperti fikih, tauhid, hadits, ulum al-Qur’an , terutama masalah tasawuf atau sufisme.
Adapun selain keilmuan-keilmuan di atas, di antara sastra kitab itu juga ialah tentang ilmu tafsir. Kitab Raudat al-Irfan fi ma’rifat al-Quran merupakan sebuh naskah kitab tafsir yang berbahasa Sunda karangan ajengan Ahmad Sanusi, di dalamnya selain berbicara tafsir juga terdapat keteragan-keterangan atatu sisipan-sisipan yang berbicara tentang fikih ataupun tauhid. Oleh karena itu, karya ini dapat dikategorikan sebuah sastra kitab melihat isi yang terdapat di dalamnya membahas ilmu kegamaan terutama tafsir.
Adapun tafsir terlengkap pertama dalam bahasa Melayu adalah Tarjuman al-Mustafid karangan Abdurrauf ‘Ali al-Jawi, salah seorang ulama Aceh pada awal paruh kedua abad ke-17. Tafsir ini menggunakan aksara jawi yang bersifat harfiyah. Di tulis oleh seorang ulama yang memiliki jaringan kuat dengan ulama di Makkah da Madinah.
Sementara dalam tradisi intelektual Jawa, al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa sejak abad ke-18. Hanya saja, berbeda dari tafsir di dunia Melayu yang menggunakan aksara Arab, tafsir di Jawa ditulis dalam aksara Jawa. Adapun di antara tafsir berbahasa Jawa ialah Kitab Kur’an tanpa pengarang, dan Kur’an Jawi karangan Bagus Ngarpah.
Terakhir, penulis mengemukakan bahwa karya-karya tafsir yang ditulis oleh Ahmad Sanusi di Sukabumi merupakan representasi dari tradisi penerjemahan di Tatar Sunda. Setidaknya, Ahmad Sanusi menulis tiga buah tafsir berbahasa Sunda, yakni Rauda al-‘Irfan, Malja’ al-Tlibin, dan Tamshiyyat al-Muslimin. Dari ketiga tafsir tersebut, hanya Rauda al-“Irfan yang merupakan tafsir lengkap dalam bahasa Sunda, dua tafsir berikutnya hanya sampai juz 9 dan 10 saja.
Satu hal lain yang dikemukakan dalam artikel ini selain memasukan naskah tafsir Raudhat al-Irfan pada kategori sastra kitab juga adalah bahwa dibanding dengan penulisan kitab-kitab lain, khususnya tasawuf dan fikih, penulisan kitab-kitab tafsir memang relatif lebih sedikit, tapi hal itu tidak berati bidang tafsir tidak menjadi perhatian utama para ulama masa lalu. Sulitnya identifikasi dan penelusuran terhadap manuskrip-manuskrip tafsir, baik Melayu, Jawa, dan sunda, tampaknya menjadi salah satu faktor belum terungkapnya tradisi penulisan tafsir di dunia Melayu-Indonesia secara maksimal.